Jumat, 27 Februari 2009

PROFESOR YANG TIDAK PROFESIONIL

Apoteker sama halnya dengan seorang profesor yang bekerja tidak profesionil. Pada sebuah perguruan tinggi di Indonesia, gelar professor merupakan jabatan tertinggi dari seorang guru besar namun tidak menunjukkan seorang yang akhli dan profesionil. Seorang professor diangkat menjadi professor setelah dia menyampaikan pidato pengukuhan yang disetujui oleh rekan-rekannya yang juga professor. Seorang professor di Indonesia bukanlah seorang yang mumpuni atau seorang yang benar-benar master dalam suatu keahlian yang istimewa. Professor adalah sebuah jabatan fungsionil dalam suatu hirarki kepangkatan di suatu perguruan tinggi . Professor merupakan penghargaan atas pengabdian seseorang atau prestasi karena tugasnya. Beda dengan di luar negri terutama di Negara maju seperti di Amerika, Eropa, maupun di Jepang, disana seorang professor tentulah seseorang yang mumpuni di bidangnya dan diakui oleh siapapun di dunia. Di Indonesia banyak professor yang berusia muda , bahkan di suatu Perguruan Tinggi Negeri saja ada profosor yang berusia sekitar 35 tahun, tentu saja mustahil dijumpai di Luar negri. Seorang professor di luar negri adalah seseorang yang sudah malang melintang , sudah sangat berpengalaman sesuai dengan jam terbangnya yang jauh di atas ambang batas, seluruh masa hidupnya di curahkan pada bidang yang dia geluti, maka wajar kalau dia diakui sebagai professor setelah dia berusia diatas 50 tahun, dia benar-benar senior di bidangnya, dia benar-benar berhak atas gelarnya dan dia benar-benar seorang master.
Tetapi di Indonesia seorang profesor diangkat setelah dia membacakan seberkas pidatonya yang hebat, seorang yang pangkatnya berada di atas golongan IVB , seorang yang sanggup mengumpulkan kredit point tertentu , seseorang yang disetujui oleh beberapa teman-temannya yang juga bergelar professor .
Jadi tidak ada yang istimewa dari gelar seorang professor di suatu perguruan tinggi di Indonesia dibandingkan dengan seorang professor yang ada di Luar negri atau di Negara maju lainnya. Makanya professor kita akan kelihatan kecil kalau di adu dengan professor luar negri. Professor kita harus belajar seumur hidupnya lagi kepada professor luar negri kalau ingin diakui keahliannya. Professor yang dicangkok untuk mengajar di Indonesia dibayar dengan harga yang sangat tinggi, sementara professor kita di anggap sebelah mata di luar negri, professor kita kesana hanya untuk belajar lagi bukan untuk mengajar, kecuali di Negara berkembang atau Negara terbelakang lainnya. Tentu saja sebagai anak bangsa saya tidak merasa bangga dengan professor yang dihasilkan oleh bangsa sendiri, seharusnya gelar professor kita itu harus diuji lagi oleh para professor di luar negri kemudian diakui secara internasional, kemudian dia dapat memberi memamfaat ilmunya disana, nah kalau itu baru kita merasa bangga.

Bagaimana dengan tenaga Apoteker kita? Kelihatannya sama saja, ibaratnya sebuah mata uang yang berbeda sisinya, tetapi sama nilainya.
Di Indonesia, seorang apoteker yang bekerja di Apotek seolah-olah tidak bekerja pada tempat yang semestinya, contohnya sebuah apotek bernama “HUSADA FARMA”, setelah di periksa ke dalam, ternyata Apotekernya bernama “SITI FATIMAH”. Kok ngak sama ya?
Sebagai seorang awam, tentu banyak penafsirannya antara lain;
• Apoteker “SITI FATIMAH” bekerja di apotek yang bernama “HUSADA FARMA”, artinya Apoteker adalah seorang karyawan atau yang dipekerjakan di apotek itu.
• Setiap orang yang menebus obat ke apotek akan selalu mengingat nama “HUSADA FARMA”, bukan “SITI FATIMAH”.
• Sekiranya terjadi kesalahan penyerahan obat, maka si pasien baru mencari nama apoteker “SITI FATIMAH”.
• Apabila apotek “HUSADA FARMA” mengalami perubahan kepengurusan , seperti penggantian pemilik atau penggantian Apoteker “SITI FATIMAH” , maka masyarakat tidak mengetahuinya atau masyarakat tidak perlu diberi tahu. Artinya nama besar “HUSADA FARMA” merupakan nama komersial yang diingat selalu.
• Jika terjadi suatu kondisi dimana apotek “ HUSADA FARMA” pindah lokasi atau si pemilik apotek membuka cabang baru, maka nama “HUSADA FARMA” adalah nama yang tidak tergantikan. Artinya nama “HUSADA FARMA” merupakan nama sakti yang akan di yakini oleh pasien , bukan nama apoteker “SITI FATIMAH”.
• Apoteker merasa tidak memiliki apotek “HUSADA FARMA”, artinya ikatan emosional apoteker terhadap apotek tersebut tidak kokoh , karena apoteker beranggapan bahwa pada suatu saat bisa saja dia tidak disana lagi dan apoteker lain sudah menggantikannya.
• Apoteker tidak bekerja secara fokus di apotek “HUSADA FARMA”, artinya apoteker akan bekerja paruh waktu atau mulai melirik pekerjaan lain yang lebih menguntungkan lalu menyerahkan pekerjaan tersebut pada asistennya.
• Bagi Apoteker baru tamat atau baru bekerja, maka apotek “HUSADA FARMA’ merupakan batu loncatan dan sebagai tempat untuk melaksanakan Masa Bakti Apoteker agar mendapatkan Surat Izin Keja Tetap. Artinya setelah Masa Bakti selesai maka apoteker tadi akan segera mengajukan pengunduran diri dan mencari jenis pekerjaan lain yang lebih menguntungkan.
• Apoteker bekerja secara tidak professional di apotek, artinya mereka bersifat amatiran dalam bekerja sehingga sering tidak hadir selama apotek buka dan menyerahkan wewenangnya ke pada asisten atau petugas lain yang sudah terbiasa di apotek.
• Apoteker merasa tidak percaya diri untuk tampil habis-habisan melaksanakan pharmaceutical care secara langsung, artinya apoteker merasa sudah ada petugas lain yang mambantu tugasnya di counter depan apotek dan cukup dengan hanya mengawasi dari belakang saja.


Pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotek, walaupun telah memuat ketentuan tentang beralihnya pengelolaan apotek dari badan usaha ke Apoteker, namun dalam pelaksanaannya tidak dikuti dengan perubahan nama apotek ke nama Apoteker. Hal ini akan menyebabkan profesi apoteker berjalan secara tidak maksimal.

Perubahan nama apotek ke nama apoteker tentu bukan dimaksudkan untuk perubahan status kepemilikan untuk apoteker yang bekerjasama dengan PSA, tetapi minimal nama Apoteker harus lebih ditonjolkan dan lebih kelihatan dibandingkan nama badan usaha apoteknya, bukan sebaliknya yang terjadi selama ini.
Penampilan sebuah nama yang lebih menonjol pada papan nama sebuah apotek jelas akan menimbulkan dampak psikogis yang kuat bagi yang melihatnya.
Bagi apotek yang dimiliki oleh apoteker sendiri, bukan saatnya lagi menggunakan nama lain selain nama sendiri, penampilan nama sendiri akan menunjukkan harga diri dan keyakinan pasien yang berkunjung. Kalau apoteker menggunakan nama lain pada papan nama apoteknya, maka jangan disalahkan kalau masyarakat akan terus mengerdilkan profesi apoteker.
Sekarang apoteker harus tampil beda demi untuk mengembalikan citra profesionalismenya yang selama ini tidak dimamfaatkan dan ditonjolkan oleh apoteker sendiri.

Para profesionalisme lainnya seperti NOTARIS, PENGACARA dan DOKTER SPESIALIS, mereka sudah berjalan pada barisan terdepan membawa panji-panji kebesarannya dengan penuh keyakinan dan kebanggaan dengan derap langkah yang lebih bermartabat dan PROFESIONAL. Sementara Apoteker masih jauh ketinggalan di belangkangnya , apoteker masih duduk bersembunyi dibalik nama besar sebuah apotek yang menjadi tempat pengabdiannya. Walaupun apoteker masih mengatakan bahwa dia seorang yang professional , padahal masyarakat mempunyai ikatan batih yang lebih kuat pada sebuah nama apotek ketimbang nama seorang apotekernya.
Tulisan ini hanya berupa pencerminan dan koreksi sosiologis yang terjadi dalam masyarakat kita selama ini , bukan untuk mengecilkan nama seseorang , semoga tulisan ini menjadi pencerahan bagi yang memahami persoalannya.

Tidak ada komentar: