Jumat, 03 Oktober 2008

Apoteker dalam Sebuah Renungan

Profesi Apoteker dan Dokter itu bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi,Dokter mendiagnosa dan menentukan penyakit dan di sisi lainnya apoteker mencarikan obat yang tepat sesuai dengan diagnosa dokter. Dengan kata lain; dokter memegang pistolnya sedangkan Apoteker menyiapkan pelurunya.
Pistol tanpa peluru tidak mempunyai kekuatan, sebaliknya peluru tanpa pistol tidak ada artinya. Sekarang pistol yang di tangan dokter sudah ada pelurunya, apoteker hanya memegang selongsongnya saja.

Indonesia termasuk negara yang tertinggal di bidang farmasi. Perkembangan ilmu farmasi di Indonesia lebih banyak mengikuti perkembangan di negara lainnya.. Hampir 99% bahan baku , bahan tambahan , termasuk kemasan adalah import, yang 1%-nya tentu saja H2O yang selalu melimpah terutama kalau musim hujan. Apoteker yang bertugas di pabrik obat dapat di ibaratkan sebagai tukang jahit, bahkan mesin jahitnyapun import, apoteker tinggal merancang design yang sesuai dengan permintaan pasar, terserah mau bikin sediaan apa saja .. Pabrik obat di Indonesia bagaikan pabrik rakitan saja.
Tetapi untunglah Peran Apoteker bukan hanya dibidang produksi obat saja, ada apoteker Rumah sakit , ada apoteker di apotik, sebagai peneliti dan pendidik, marketing dan lain sebagainya, kecuali kalau apoteker mau banting stir ke luar bidang profesinya. Kalau banting stir kenapa dulu pilih profesi apoteker ?

Di rumah sakit, Instalasi Farmasi adalah tempat apoteker berprofesi. Seharusnya peran apoteker di sana sebagai decision marker di bidang obat ,tetapi dalam kenyataannya, peran apoteker hanya sebatas pengadaan kebutuhan obat. Peran Apoteker sebagai konsultan obat sudah terpenuhi di tangan dokter. Mungkinkah hal ini disebabkan apoteker tidak mempunyai wewenang dan keahlian di bidangnya? lebih prihatin lagi kalau mereka menempatkan diri hanya sebagai pelayan kebutuhan obat .

Peran apoteker di jenjang kepemerintahan juga tidak jelas. Pucuk pimpinan dalam jajaran BPOM saat ini bukan dipegangang oleh seorang Apoteker , tetapi oleh seorang Dokter, dan ini juga terjadi pada beberapa dinas kesehatan di berbagai Propinsi di Indonesia. Apakah kopetensi dan profesionalisme seorang apoteker masih diragukan dalam hirarki kepemerintahan? Yang jelas ini bukanlah opini tetapi begitulah yang terjadi.

Peran Apoteker di Apotik juga tidak lebih baik bahkan mungkin lebih parah.(lihat juga..)
Di apotik, apoteker sering dilecehkan masyarakat ” apoteker tekab”. Akibatnya masyarakat semakin jauh , apoteker dan masyarakat saling tidak peduli. Asisten Apoteker mendapat porsi plus dan lebih simpatik di hati masyarakat khususnya lagi bagi Pemilik Sarana Apotik. Apoteker nggak hadir, apotik masih bisa jalan, tetapi kalau asisten tidak datang maka Pemilik Sarana Apotik kelihatan muram, sedih dan marah-marah. Wajar kalau Asisten Apoteker mendapat salary lebih tinggi perbulannya.

Beberapa waktu yang lalu (tahun 2005) induk organisasi farmasis (ISFI) sudah menggulirkan program yang sangat keren” No Pharmacist No Services, sekarang bernama TATAP”. Sudah 3 tahun program ini bergulir, hingga saat ini apakah sudah berhasil? yang kita lihat masih banyak apoteker berdomisili di tempat-tempat lain yang merupakan sumber penghasilan utama mereka seperti di kantor-kantor pemerintah , di rumah sakit, ditempat mengajar, di balai pemeriksaan dan pengawasan obat (DEPKES) yang notabene mereka adalah para PNS dan ABRI. Apotik merupakan objek tambahan penghasilan , apotik merupakan kerja sampingan untuk pengisi waktu luang. Apoteker yang berstatus sebagai PNS dan ABRI lebih beruntung ketimbang yang berstatus sebagai apoteker swasta, mereka yang PNS dan ABRI menurut ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku sekarang masih diperbolehkan kerja rangkap , yang apoteker Swasta mereka harus memilih.
Ternyata Pemilik Sarana Apotik (PSA) juga lebih senang memilih Apoteker yang PNS ketimbang apoteker baru tamat atau apoteker pengangguran, mungkin PSA merasa lebih terlindungi, Apoteker PNS lebih awet, PSA akan mendapat banyak kemudahan nantinya.
Padahal apoteker yang kerja rangkap diragukan kerja profesionalnya , mereka lebih bersifat amatiran.

Apa alasannya apoteker PNS dan ABRI boleh kerja rangkap ?. Apakah jumlah Apoteker yang di hasilkan perguruan tinggi (PT) di Indonesia tidak cukup?. Dalam suatu seminar nasional ISFI pernah dilaporkan bahwa Apoteker baru yang dihasilkan PT farmasi se Indinesia sudah mencapai 2.500 per tahun. Suatu jumlah yang fantastis, tidak mungkin Indonesia kekurangan Apoteker. Angka 2500 orang pertahun berpotensi besar untuk menganggur, namun siapa yang peduli? Sepertinya tidak ada yang peduli, pemerintah?, ISFI?, Pejabat?, DPR? para senior? Bahkan apoteker baru tamatpun masih tetap diam , asyyik dengan diri sendiri, apakah anak muda ini akan tertular penyakit seniornya atau akan lebih parah lagi?

Peluang besar untuk tempat pengabdian apoteker adalah apotik , karena pertumbuhan apotik saat ini sangat pesat, namun apoteker baru tamat kalah bersaing dengan apoteker yang bersatus PNS.. Peluang apoteker kerja di apotik memang banyak, itu dalam segi kuantitias, namun seberapa banyak apoteker siap buka apotik milik sendiri dan kerja fulltime disana? Tentu saja apoteker harus berpikir lebih dari 10 kali sebelum memutuskannya.. Kenapa? tentu banyak alasan, seperti kurang modal (alasan lama), ngak ngerti management apotik, usaha yang tidak prospek, rutinitas yang membosankan, pesaingan berat, kurang rasa percaya diri, dan masih banyak lagi alasan lainnya. Intinya, apoteker tidak berminat mengandalkan hidupnya hanya berwiraswasta di apotik . Nyatanya para PSA berlomba-lomba buka apotik baru, mungkin PSA punya banyak modal, walaupun nanti rugi , itu bukan resiko apoteker, apoteker adalah mitra usaha PSA ketika apotik untung , kalau nanti apotik rugi apakah apoteker peduli?

Kok semuanya seperti amburadul ya? Bagaimana para farmasis kita itu mampu melakukan swasembada obat nasional, kalau berdiri diatas kemampuan sendiri saja mereka ngak yakin? Bagaimana para farmasis kita bicara tentang pemberantasan korupsi, kalau setiap hari mereka selalu korupsi waktu di apotik? Bagaimana para farmasis kita bicara tentang penegakkan keadilan kalau peraturan perundang-undangan yang mereka pegang tidak adil dan diskriminatif? Bagaimana para farmasis kita membendung arus Globalisasi yang begitu deras, kalau melakukan management apotik saja mereka masih amatiran? Bagaimana para farmasis kita bicara tentang kredibilitas apoteker, kalau ijazah apoteker hanya dihargai dengan lembaran rupiah? Bagaimana para farmasis kita bicara tentang FairPlay, kalau yang melakukan pemeriksaan dan pengawasan apotik adalah orang yang sama dengan yang diawasi dan diperiksa? Siapa yang peduli?siapa yang mampu merubah prilaku dan kondisi ini? apakah semua yang kotor itu masih bisa dibersihkan? Apakah lantai itu sudah terlalu kotor sehingga susah sekali dibersihkan? Atau mungkin sapunya yang tidak bersih, sehingga selalu saja meninggalkan kotoran ?
Semoga tulisan dapat mengetuk hati nurani para tenaga professional kita yang bernama Apoteker , menggugah dan menyadarkan mereka untuk berbuat lebih professional tanpa pamrih pada masyarakat yang membutuhkannya. (penulis: Drs. Hendri, Apoteker)

Tidak ada komentar: